Tumbang
Anoi adalah tempat bersejarah perjalanan masyarakat Dayak. Tumbang Anoi
menjadi tempat rapat akbar untuk mengakhiri tradisi ”mengayau” pada
tahun 1894. Kini, setelah satu abad berlalu, Tumbang Anoi tetap menjadi
sumbu perdamaian bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah.
Mengayau
atau memenggal kepala musuh dalam perang antarsuku dahulu kala adalah
salah satu kebiasaan sejumlah subsuku Dayak di daratan Kalimantan (kini
terbagi menjadi wilayah Indonesia, Malaysia, dan Brunei) yang sangat
ditakuti. Kadangkala, mengayau tidak hanya dilakukan dalam peperangan,
tetapi juga ketika merampok, mencuri, atau menduduki wilayah subsuku
lain.
Sebelum
disepakati untuk dihentikan, mengayau makin membudaya karena semakin
banyak kepala musuh yang dipenggal (dibuktikan dengan banyaknya
tengkorak musuh di rumahnya), seorang lelaki semakin disegani. Bahkan,
perselisihan antarsuku terus berlanjut karena masing-masing suku
membalas dendam. Perselisihan berkepanjangan itu membuat Residen Belanda
di Kalimantan Tenggara yang kini meliputi wilayah Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Selatan merasa tidak aman.
Dalam
bukunya, Pakat Dayak, KMA M Usop menuturkan, Brus, Residen Belanda
Wilayah Kalimantan Tenggara, pada Juni 1893 mengundang semua kepala suku
yang terlibat sengketa ke Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, untuk
membicarakan upaya perdamaian.
Dalam
pertemuan itu disepakati, harus digelar pertemuan lanjutan yang
melibatkan seluruh suku Dayak di Borneo untuk membahas berbagai
persoalan yang menjadi akar perselisihan. Namun, menggelar pertemuan
lanjutan itu bukan pekerjaan mudah. Ketika itu, akses antarwilayah masih
mengandalkan sungai.
Satu-satunya
kepala suku yang mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah pertemuan
akbar itu adalah Damang Batu, salah satu kepala suku Dayak Ot Danum di
Tumbang Anoi. Sepulang dari Kuala Kapuas, Damang Batu yang ketika itu
berumur 73 tahun langsung memulai pekerjaan besarnya menyiapkan tempat
dan logistik.
Selama
lima bulan hingga akhir 1893, Damang Batu tak pernah menetap di
desanya. Ia terus berkeliling ke desa lain untuk mengumpulkan makanan.
Ada cerita lain yang menyebutkan, Damang Batu juga menyiapkan 100 kerbau
miliknya untuk makanan para undangan. Ia juga meminta masyarakat di
Tumbang Anoi dan sekitarnya membangun pondok bagi tamu undangan rapat.
Damang Batu jugalah yang menyebarkan undangan rapat secara berantai kepada kepala suku-kepala suku di daratan Kalimantan.
Sebanyak
152 suku diundang ke Tumbang Anoi. Dalam rapat yang digelar selama dua
bulan sejak 22 Mei hingga 24 Juli 1894 itu, sekitar 1.000 orang hadir.
Mereka dari suku-suku Dayak dan sejumlah pejabat kolonial Belanda
wilayah Borneo. Usop juga mencatat, sedikitnya 50 kerbau, 50 sapi, dan
50 babi, serta bahan makanan lain seperti beras dan ubi kayu disediakan
untuk konsumsi mereka yang hadir ketika itu.
Selain
mengakhiri tradisi pengayauan, rapat akbar itu juga menyepakati
beberapa keputusan penting, di antaranya menghentikan perbudakan dan
menjalankan hukum adat Dayak.
Dalam
catatan sejarah yang ditulis Usop, rapat di Tumbang Anoi itu juga
membahas sekitar 300 perkara. Sebanyak 233 perkara dapat diselesaikan,
24 perkara ditolak karena kedaluwarsa atau sudah lebih dari 30 tahun,
dan 57 ditolak karena kekurangan bukti.
Kahayan
Tumbang
Anoi adalah salah satu pusat permukiman penduduk Dayak Kadorih, salah
satu subsuku Dayak Ot Danum di hulu Sungai Kahayan, Kalimantan Tengah.
Tumbang Anoi kini masuk wilayah administratif Kecamatan Damang Batu,
Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang dihuni 418 warga dari 116
keluarga. Untuk mengenang kegigihan mengumpulkan dan menyelenggarakan
rapat akbar yang sangat sulit dilakukan saat itu, nama Damang Batu
dijadikan nama kecamatan.
Tumbang
Anoi berjarak sekitar 300 kilometer arah utara Palangkaraya, ibu kota
Kalimantan Tengah. Hingga saat ini, tempat itu masih harus ditempuh
dengan perjalanan darat selama tujuh jam, dilanjutkan dengan menggunakan
perahu motor menyusuri Sungai Kahayan ke arah hulu selama dua jam dari
Tumbang Marikoi, ibu kota Kecamatan Damang Batu.
Waktu
tempuh yang amat lama itu dipengaruhi kondisi jalan yang tidak bagus.
Sebagian besar jalan belum diaspal dan hanya berupa jalan tanah. Ketika
musim hujan, beberapa titik tidak dapat dilalui kendaraan berpenggerak
dua roda.
Bekas
tempat rapat akbar Tumbang Anoi tahun 1894 kini tinggal puing, berupa
tiang-tiang rumah betang atau rumah panjang khas Dayak. Replika rumah
betang dibangun tak jauh dari puing-puing rumah betang yang lama.
Malu
Kendati
tempat rapat akbar itu tinggal menyisakan puing, semangat Damang Batu
masih tetap membekas dan terus diperjuangkan oleh masyarakat Tumbang
Anoi. Di daerah itu berkembang budaya malu melakukan kekerasan untuk
menghormati Damang Batu yang kerangkanya disimpan di dalam sandung atau
semacam rumah panggung kecil di depan rumah betang Tumbang Anoi.
Atmosfir
itu terasa, misalnya, begitu kami menginjakkan kaki di Tumbang Anoi.
Masyarakat menyapa ramah orang luar yang berkunjung.
Ngoa
Huka Batuputera (42), salah satu keturunan Damang Batu dari generasi
ketiga, menuturkan, pengorbanan Damang Batu untuk menyatukan seluruh
suku Dayak di Borneo sangat membanggakan. ”Rasa bangga itu kami pelihara
dengan menghormati semangatnya menjaga perdamaian. Tak hanya tradisi
mengayau yang kami akhiri dan kami jaga agar sekarang tidak terulang,
kami juga mengupayakan kondisi masyarakat yang tenteram tanpa
kekerasan,” kata Ngoa.
Sekretaris
Desa Tumbang Anoi Dagon Kapari menuturkan, di desanya nyaris tak pernah
ada konflik masyarakat. Nilai-nilai perdamaian Tumbang Anoi diterapkan
masyarakatnya dengan kuat. ”Rasanya malu kalau ada perselisihan. Ketika
terjadi kerusuhan Sampit tahun 2001, tak ada warga Tumbang Anoi yang
ikut-ikutan,” katanya.
Dagon
mengakui, kerusuhan Sampit menjadi salah satu noktah dalam lembar
sejarah perdamaian masyarakat Dayak yang diupayakan Damang Batu. ”Kami
sangat menyesalkan adanya kerusuhan itu. Semua di luar kehendak kami,”
kata Dagon.
Tradisi
pakanan sahur lewu atau ungkapan syukur atas keselamatan selama satu
tahun masih tetap dipertahankan masyarakat Tumbang Anoi. Ini adalah
tradisi tahunan setiap Desember untuk memupuk rasa persaudaraan sesama
masyarakat Tumbang Anoi yang kini telah beragam keyakinannya.
Dulu,
masyarakat Tumbang Anoi menganut keyakinan Kaharingan. Kini, keyakinan
yang dianut beragam, antara lain Kaharingan, Kristen, dan Islam.
Masyarakat yang berbeda keyakinan saling menghormati dan memahami,
misalnya, apa yang boleh atau tidak boleh dihidangkan bagi penganut
lainnya.
sumber grup fb http://www.facebook.com/groups/dayakunited/
Makasih gan buat artikelnya, bermanfaat sekali.
BalasHapusSalam sukses selalu...
LUAR BIASA
BalasHapusSama-sama semoga ini bisa menjadi perenungan dan mengingatkan kita betapa sejarah itu membudaya dan merupakan peninggalan sejarah yang mesti kita rawat dan jaga dengan baik ^,^
BalasHapus